Multikulturalisme dalam kerangka terminology pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, ketika budaya atau kultur penduduk Amerika Serikat menjadi semakin majemuk dan masing-masing berusaha membentuk eksistensi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran akan terjadinya perpecahan sebagai akibat dari eksistensi tersebut mendorong kemunculan istilah multikulturalisme sebagai sebuah solusi untuk menghindari perpecahan tanpa menghilangkan identitas masing-masing kultur.
Sebenarnya, para ahli belum menemukan definisi pasti dari istilah ini. Multikulturalisme masih dipandang sebagai suatu istilah yang kabur dan perlu penafsiran. Berawal dari isu mulikultural yang semakin mengkristal menjadi multikulturalisme tidak membuat istilah ini semakin mudah dipahami. Tambahan “isme” pada kata tersebut menunjukkan adanya pemahaman baru yang muncul tentang kemajemukan cultural. Lebih jauh lagi, istilah tersebut tidak lantas memudahkan orang untuk memahaminya. Penyebabnya adalah adanya makna yang kompleks dari istilah tersebut. Seorang professor dari Universitas Virginia, Bethany Bryson pun mencoba menelusuri makna tersebut. Ia mewawancarai beberapa orang professor untuk menerjemahkan makna multikulturalisme. Sesuai pemahaman masing-masing, tentunya. Riset tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa multikulturalisme memang masih kabur dan perlu diperjuangkan (menurut istilah Bryson).
Ada dua hal yang menjadi titik berat dalam memahami multikulturalisme (Bryson, 2006). Multikulturalisme sering dipersepsikan sebagai politik pengajaran dan nilai keagamaan pada tatanan masyarakat. Dua istilah tersebut terkait satu sama lain. Politik pengajaran menyangkut strategi untuk mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme dan berperan penting terhadap penyebaran paham ini. Sedangkan, nilai keagamaan berperan dalam menentukan arah politik pengajaran. Agama berpengaruh terhadap strategi pengajaran nilai mutlikuturalisme. Penggunaan strategi pengajaran yang tidak tepat dapat membuat multikulturalisme tidak diterima sebagaimana semestinya, bahkan menjadi salah paham. Oleh karenanya, strategi yang tepat memudahkan isu multikulturalisme diterima oleh nilai keagamaan.
Agama masih menjadi salah satu perhatian yang seringkali menjadi latar dari berbagai kasus di dunia. Namun sayangnya, kasus tersebut seringkali terjadi karena perbedaan pemahaman yang memecah persatuan. Adanya perbedaan pemahaman tersebut tidak dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menyatukan, sehingga yang terjadi justru perpecahan. Sebagai agama yang rahmatan lil-‘alamin, sudah seharusnya Islam menjadi motor penggerak persatuan, bahkan menjadi model yang ideal bagi siapa saja yang mendambakannya. Bukanlah Islam yang menyebabkan perpecahan itu, namun umatnyalah yang belum bisa memahami perbedaan itu.
Perbedaan pemahaman dalam Islam seringkali menyebabkan umatnya terpecah. Pemahaman yang berbeda terhadap suatu masalah harusnya menjadi salah satu alat pemersatu di dalam agama Islam sendiri. Gagasan untuk menjadikan perbedaan pemehaman dalam Islam sebagai sebuah model bagi agama lain tentunya sudah ada sejak dulu. Secara historis, perbedaan pemahaman dalam agama Islam sudah terjadi beberapa ribu tahun yang lalu, tepat sepeninggalan Rasulullah SAW.
Kasus yang dianggap sebagai perbedaan pendapat dalam sejarah umat Islam adalah tentang pemilihan khalifah pertama yang berfungsi sebagai tonggak penyebara Islam setelah wafatnya Rasullullah SAW. Ketika itu ada tiga pendapat yang bertentangan. Kubu pertama menganggap bahwa Abu Bakar As-Siddiq lah yang layak menggantikan Rasulullah SAW. Kebanyakan yang mendukung pendapat ini adalah orang-orang yang hijrah. Sedangkan yang kedua berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih pantas karena beliau berasal dari keluarga Rasulullah SAW dan merupakan orang yang beriman pertama kali dari golongan anak-anak pada waktu itu. Pendapat ini banyak didukung oleh orang-orang yang pada beberapa tahun berikutnya menyebut diri mereka sebagai Syiah. Kemudian golongan ketiga adalah orang-orang yang mendukung Sa’ad bin Abi Waqqash. Pendukung Sa’ad menganggap beliau yang lebih tepat menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat karena beliau adalah salah satu sahabat nabi yang terdekat. Kebanyakan dari pendukung beliau adalah kaum anshar.
Setelah perbedaan pemahaman, dalam hal ini penggantian pemimpin umat Islam, banyak terjadi perbedaan pemahaman yang lain. Penyebabnya jelas, tak lain karena Rasulullah sudah wafat ketika itu. Sebelum Beliau wafat, bila ada saling silang pendapat di kalangan orang muslim, maka Beliaulah yang menjadi penengahnya. Ketika sebuah perkara sudah diputuskan, masing-masing pihak yang berselisih dapat menerimanya dengan lapang dada. Lebih dalam lagi, perbedaan pemahaman mulai menyentuh aspek-aspek pokok pada masalah fiqh. Adanya empat mazhab besar dalam Islam menunjukkan bukti adanya perbedaan pemahaman dalam menafsirkan hadis atau ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hal ihwal masalah di atas.
Perbedaan pemahaman yang lebih ekstrem bisa dilihat dari kasus penafsiran yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan. Ketika itu, paham mu’tazilah memberikan pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Dalam masa itu pula Imam Ahmad bin Hanbal hidup. Adanya fatwa dari paham mu’tazilah yang menganggap al-Qur’an itu makhluk ditentang oleh Imam Hambali karena beliau berpendapat bahwa al-Qur’an adalah firman Allah, bukan makhluk-Nya. Para pembesar kerajaan yang pada waktu itu berpaham mu’tazilah kemudian mempengaruhi khalifah untuk memenjarakan Imam Hambal, seorang Imam madzhab yang mempunyai cukup banyak pengikut. Kasus di atas menunjukkan belum adanya kompromi antara perbedaan pemahaman. Jika masing-masing pihak menyadari bahwa perbedaan pendapat itu timbul karena adanya perbedaan pada masing-masing individu dan menyadari bahwa perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, maka tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan
Perbedaan Pemahaman dalam Islam: Kajian Multikulturalisme